Pelajaran PKI Buat PKS

Uncategorized286 Views

image

Kabarkite.com-Opini (19/6), Ditangkapnya Presiden Partai Keadilan Sejahtera [PKS]—sekarang sudah mantan—Luthfi Hasan Ishaaq, tentu merupakan tamparan keras bagi PKS. Sebetulnya ini merupakan hal biasa dalam medan pertarungan demokrasi borjuis. Setiap celah sekecil rambut dibelah delapan belas akan digunakan oleh lawan untuk menjatuhkan. Dan, kepleset seperti yang dialami PKS juga hal yang lumrah. Ketika siap bertarung, maka sedari awal mesti sudah siap kecipratan kotoran. Tapi yang terpenting sekarang: langkah apa yang perlu dilakukan oleh PKS untuk bisa mengkonsolidasikan diri sehingga bisa menghadapi serangan dari lawan-lawan politiknya?

Sebetulnya serangan terhadap PKS yang dilakukan oleh lawan-lawan politiknya belumlah terlalu berat. Masih sebatas serangan kecil-kecilan. Oleh sebab itu, semestinya PKS bisa dengan cepat menata organisasi.

Ada sebuah pelajaran dari sejarah tentang sebuah partai politik yang dihantam habis-habisan namun bisa bangkit, dan kemudian bisa mewarnai politik Indonesia. Partai tersebut adalah Partai Komunis Indonesia [PKI]. Tidak perlu diperdebatkan di sini bahwa PKI berdeda ideologi dengan PKS. Karena sebuah pelajaran bisa diambil dari mana saja, bahkan dari seonggok kotoran.

PKI muncul pertamakali pada tahun 1923. Kurang lebih tiga tahun kemudian, tahun 1926/1927, PKI memimpin pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Inilah pemberontakan pertama yang dilakukan secara modern. Artinya, dipimpin oleh sebuah partai politik dan dilakukan secara terencana. Pemberontakan ini gagal. Tapi mengajarkan satu hal: keberanian untuk melawan. Kegagalan ini memang berakibat sangat parah terhadap PKI. Pimpinan banyak yang ditangkap. Cabang-cabang dibubarkan. PKI pun tak bisa tampil legal.

Terhadap serangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, PKI tak menyerah. Selain bergerak di bawah tanah, kader-kader mereka yang selamat bergabung dengan partai nasionalis yang ada. Memang membutuhkan waktu yang lama untuk tampil legal kembali. Setelah kemerdekaan, dipimpin oleh Muso, PKI baru bisa muncul legal. Tapi ini tak lama. Ketika terjadi Peristiwa Madiun 1948, PKI dipukul lagi. Organisasi kembali berantakan. Kejadian itu menjadi salah satu titik krusial dalam sejarah PKI.

Tapi memang begitulah sejarah: ia tak dapat dicegah. Tapi di sisi lain sejarah akan melahirkan hal baru. Dan tergantung bagaimana kemudian manusia memberikan arti. Pun, bagi sebuah partai politik. Setelah terpuruk pada tahun 1948, muncul tokoh-tojoh muda seperti D.N Aidit, Lukman dan Nyoto. Mereka inilah yang pada tahun 1950 menyusun PKI yang terserak-serak, menyingkirkan tokoh tua seperti Tang Ling DJie–kalau di PKS mungkin serupa Yusuf Supendi, yang terus menerus menyerang partai dari luar. Lewat tokoh-tokoh muda tersebut PKI bisa tumbuh menjadi partai yang akarnya menjangkar kuat ke bumi, batangnya tubuh menantang matahari dan rantingnya menjulur ke segala arah.

Ada tiga langkah yang dilakukan Aidit dan kawan-kawan. Pertama, dilakukan pembenahan dalam hal ideologi. PKI gencar melakukan pendidikan dikalangan kader-kader mereka dari tingkat ranting sampai tingkat pusat. Konsolidasi ideologi ini dilakukan agar setiap kader mempunyai pegangan yang kokoh dalam menghadapi pertarungan politik. Bagaimanapun juga kader merupakan ujung tombak guna membesarkan dan menjalankan program partai. Kedua, dalam lapangan politik PKI memutuskan untuk menempuh jalan parlementer dan menggalang front persatuan. PKI tidak lagi berpegang pada perjuangan bersenjata seperti periode-periode sebelumnya. Dan ketiga, agar jalan parlemnter ini bisa berhasil, pembenahan organisasi dilakukan. Secara organisonal PKI membuka diri. Mengubah dari partai kader menjadi partai kader berbasis massa. Perubahan ini untuk menunjang agar PKI bisa membuat cabang-cabang partai sampai tingkat kelurahan.

Langkah yang ditempuh PKI berbuah. Tanpa disangka oleh siapapun, PKI yang rusak berat pada tahun 1948, bisa bertengger di posisi empat besar dalam Pemilu 1955. Tentu ini membuat terperangah lawan-lawan politiknya. Sejak saat itulah PKI mulai dianggap sebagai musuh paling berbahaya. PKI tidak hanya dihantam dari dalam negeri, tapi juga dari luar: kekuatan seperti Amerika Serikat juga merasa terancam oleh PKI. Apalagi setelah PKI semakin dekat dengan Sukarno dan melancarkan program-program anti imperialisme dan populis.

Ada keuntungan ketika PKI memilih merapat kekekuasaan. Mereka bisa memainkan peran lebih banyak. Tapi ada satu hal yang menjadi kelemahan: PKI menjadi kurang waspada. Merasa sudah dekat dengan Sukarno, PKI merasa sudah aman. Padahal serangan yang dilakukan tak akan pernah kendor. Ketika kekuatan lawan politik terkumpul pada Oktober 1965, PKI tak siap melakukan serangan balik. Organisasi sebesar PKI hanya menunggu perkembangan yang ada dan menanti apa yang dilakukan Sukarno.

Ketergantungan politik terhadap Sukarno yang dianggap bisa menjadi pelindung ini, yang membuat PKI mudah dipukul dalam sekali hentakan, karena sedari awal tak menyiapkan diri menghadapi kondisi paling buruk. Ternyata Sukarno juga tidak melakukan apa-apa dan ikut tergulung oleh arus balik politik yang sedang terjadi. Dan, kerusakan yang dialami PKI begitu parah: kader-kadernya sebagian besar dibantai dan di penjara. PKI tak mampu bangkit lagi.

Situasinya hampir sama dengan PKS. Sejak Pemilu 2004, PKS mengambil strategi masuk dalam lingkaran kekuasaan. Strategi ini tak salah. Tapi hampir sama juga dengan PKI, ketika PKS merasa nyaman dengan kekuasaan, tak waspada lagi. Padahal semakin dekat kekuasaan, serangan semakin hebat; baik lawan yang berada dalam kekuasaan, maupun di luar kekuasaan. Akibatnya, ketika kepleset oleh kasus Luthfi, PKS sempat terpana; tak menyana semuanya terjadi. Dan serangan bertubi-tubipun datang dari mana-mana dibiarkan begitu saja untuk lebih memilih bertahan.

Oleh sebab itu, anjuran Presiden PKS yang baru, Anis Matta, untuk melakukan “pertobatan” sudah benar. Dalam tradisi kiri, “pertobatan” sering disebut KOK [Kritik Oto Kritik]. Tujuan dari KOK adalah melakukan evalusi secara total terhadap perjalanan organisasi yang sudah dilalui; menimbang di mana kelemahan dan kelebihan, untuk kemudian melakukan konsolidasi ideologi, politik dan organisasi. Tanpa ini seringkali partai merasa jumawa.

Pada level politik sudah semestinya PKS segera melakukan serangan balik. Ibaratnya: kita boleh kebobolan satu gol, tapi bukan menjadi alasan untuk bertahan karena ketakutan akan kegolan lagi. Tapi mesti sebaliknya, melakukan serangan balik segencar-gencarnya untuk memenangkan pertandingan.

Seperti yang telah diuraikan di atas, salah satu kekeliruan PKI pada tahun 1965 adalah bertahan dan tidak segera melakukan serangan ketika gempuran datang. Sama seperti PKI, PKS mempunyai massa yang solid dan struktur organisasi yang rapi, yang merupakan modal besar untuk melakukan serangan balik. Apabila serangan balik kepada lawan-lawan politik tidak segera dilakukan, bisa jadi PKS akan menjadi sasaran empuk, dan walaupun tetap eksis tapi suara dan pendukungnya digrogoti oleh lawan politik.

Secara internal tentu saja konsolidasi ideologi dan organisasi perlu dilakukan oleh PKS. Ini dilakukan bukan saja untuk menyembuhkan luka-luka akibat serangan, tapi sekaligus untuk mengokohkan mesin partai untuk menghadapi pertarungan yang lebih berat. Karena pertarungan tidak akan berhenti di sini saja. Ia akan tetap ada.

Sebagai pertanyaan penutup: Bisakah Anis Matta seperti DN Aidit yang mampu membawa partai keluar dari masa sulit? *** (DepokInt)

Lereng Merapi. 1 Februari 2013.

Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasikan di kompasiana.

Sumber: tikusmerah.com