Pembunuhan Karakter Santri Pada Pospeda Sumsel 2016

Foto :Ilustrasi Santri.
Oleh: Ferry Irawan AM*)

Kabarkite.com, Opini (10/9) – Perhelatan Pekan Olahraga dan Seni Daerah (POSPEDA) Sumatera Selatan yang dipusatkan di Kota Palembang baru-baru ini (3-6 September 2016) usai digelar. 

Ajang pengkaderan sekaligus penggalian bibit-bibit prestasi para santri itu masih menyisakan sukacita dan dukabahagia. Sebagaimana dimaklumi kalangan yang identik dengan sarung dan peci itu takkan meninggalkan ciri khas penting, yakni fenomena penuh arti dengan ragam penafsirannya. Namun, topik ini takkan menceritakan dunia luar dalam para kiyai dan santri. Tulisan ini bertujuan semata-mata mengambil pelajaran berharga demi keharmonisan antar sesama ulama (pimpinan pesantren) khususnya di Sumatera Selatan setelah pelaksanaan POSPEDA 2016. Agar jangan sampai kejadian serupa terulang di masa-masa yang akan datang.

Sebelum pelaksanaan POSPEDA di Kota Palembang, tentunya didahului POSPEKOT dan POSPEKAB di kota dan di kabupaten se-Sumatera Selatan. Para kontingen yang terpilih kemudian bertolak menuju Palembang guna mensukseskan acara “yang lebih besar” dan lebih “wah” ketimbang di kota dan kabupaten. Yang kemudian pada akhirnya menuju ajang yang lebih bergengsi di dunia pesantren tanah air (POSPENAS) bulan Oktober 2016 mendatang yang dipusatkan di Banten, Jawa Barat.

Sebagaimana yang telah diuraikan di awal tulisan, maksud dan tujuan POSPEDA tak lain untuk menyeleksi para atlet dan penampilan seni yang terbaik, kemudian mereka akan dikirim ke Banten sebagai duta SUMSEL, berjuang demi mengharumkan nama SUMSEL di kancah nasional. Siapa pun akan berasumsi demikian. Namun tidak seperti itu kenyataannya pada tahun ini. Ternyata pihak panitia provinsi telah membatasi jumlah peserta dengan seminim mungkin. Hal ini disebabkan keterbatasan dana yang dianggarkan oleh pemerintah setingkat provinsi. Sehingga dengan keputusan ini, ada beberapa kontingen cabang olahraga dan seni tertentu, meskipun sudah menunjukkan kemampuan terbaiknya di ajang POSPEDA sebagai juara I (peraih medali emas) akhirnya dicoret oleh pihak panitia Provinsi sebagai calon peserta kontingen POSPENAS. Dari data-data yang terhimpun mereka yang dipaksa legowo untuk tidak berangkat ke tingkat nasional sebut saja; Tim  Seni Theater Putri Lubuklinggau, Group Musik Islami Lubuklinggau, Tim Volly Lahat dll.

Desas desus tidak diberangkatkannya beberapa kontingen ini sebenarnya sudah dihembuskan oleh panitia provinsi beberapa hari sebelum pelaksanaan POSPEDA. Akan tetapi, menurut penilaian penulis keputusan ini sangat terlambat. Dikarenakan panitia POSPEKOT dan POSPEKAB telah rampung melaksanakan seleksi awal untuk semua cabang yang bakal diperlombakan tingkat nasional. Ibaratnya, para petarung yang tengah berkecamuk di kancah peperangan, pedang sudah lepas dari sarung, anak panah pun sudah meluncur dari busurnya. Fikiran dan tenaga bahkan biaya sudah dikeluarkan sejak jauh hari.

Beberapa santri telah diberikan dispensasi khusus dari kegiatan belajarnya. Meskipun panitia provinsi memberikan warning dan telah memutuskan dalam rakor yang dihadiri dari utusan kota, kabupaten serta melibatkan pihak pemerintah (Dispora) dan kementrian agama, tentu saja takkan menyurutkan niat para pimpinan pesantren untuk memberangkatkan kontingennya masing-masing. Alasannya jelas; beban psikologis santri binaannya. Dengan harapan panitia provinsi dapat merubah keputusan sebelumnya. Lebih-lebih setelah melihat langsung kesungguhan para atelit yang bertarung sesuai bidangnya masing-masing.

Sama sekali tidak! Panitia bergeming pada keputusan semula. Semua yang bakal tidak berangkat ke tingkat nasional, sebaik apa pun prestasinya, tetap tidak diberangkatkan. Ini harga mati. Titik! Alasannya, setelah diselidiki, panitia provinsi tidak punya dana alias keterbatasan dana. Beberapa pimpinan pesantren, melalui ketua Forum Pesantren Sumatera Selatan (Forpess) menyampaikan keprihatinannya terhadap pihak panitia. Bukan hanya itu, sebagiannya bahkan bersedia mengerti keadaan panitia bilamana memang tidak ada dana, mereka siap berangkat dengan menanggung pembiayaan penuh tanpa berniat mengusik keuangan panitia. Namun, lagi-lagi usaha dan niat baik ini tidak membuahkan hasil.

Setelah penulis mengkonfirmasi salah seorang ketua forpess kota mengatakan, pihak panitia takut menanggung resiko berupa cecaran pihak LSM, wartawan media dan lain-lain.

Di ujung tulisan ini, penulis mencoba mengambil beberapa kesimpulan yang mudah-mudahan dapat menjadi pelajaran bersama baik untuk para pimpinan pesantren, kemenag dan pemerintah. Satu, keputusan yang diambil beberapa hari menjelang POSPEDA itu sangat tidak arif bahkan terkesan memaksakan kehendak demi sebuah kata bernama ‘ketakutan membengkaknya peserta’.
Kedua, pelaksanaan POSPEDA yang sepi dan terkesan apa adanya menunjukkan ketidaksiapan panitia. Lagi-lagi karena alasan minimnya dana yang disediakan.
Ketiga, penolakan panitia provinsi atas beberapa kontingen untuk berangkat ke tingkat nasional yang jelas-jelas sebagai juara pertama di tingkat provinsi, seperti adanya cabang perlombaan yang panitia tetap bersikeras memberangkatkan kontingen dengan perolehan nilai di bawah standar (memberangkatkan juara III –berdasarkan point dewan juri-) ini berpotensi pembunuhan karakter santri.
Mereka kemudian membaca diri para pengayom, pembesar-pembesar negeri ini sarat dengan ketimpangan.
Keempat, pondok pesantren adalah salah satu benteng moral tanah air ini. Sepatutnya diperjuangkan hak-haknya. Agar jangan ada kata-kata tidak ada dana untuk kegiatan pesantren, sementara urusan-urusan yang terkadang terkesan mubazir selalu tersedianya anggaran bahkan berlebih.
Kelima, kegiatan POSPEDA bukan baru pertama tahun ini dilaksanakan. Maka terdengar aneh kalau kegiatan yang setiap tiga tahun sekali ini sampai terjadi tidak adanya anggaran dana. Atau memang, kita akan sama-sama mengatakan; sudah sangat miskinkah Sumatera Selatan?

*) FERRY IRAWAN AM dilahirkan di Pelawe, 05 Juli 1974. Sejak April 2016 menjabat sebagai Staf Khusus Bupati Muratara bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan. Kegiatan sehari-hari selain menjalankan tugasnya sebagai Staf Khusus ia menjadi pimpinan Pondok Pesantren Mafaza Lubuklinggau yang ia dirikan sendiri sejak tahun 2003.

Riwayat Pendidikan Formal:

SDN Trans Bansos Pelawe, MTsN Lubuklinggau, MA Denanyar Jombang, Strata satu di IAIA Jakarta jurusan Tarbiyah (S.Pd.I). Strata dua pada UTIRA IBEK Tomang Jakarta jurusan Manajemen Konsentsrasi pendidikan (MM)

Riwayat Pendidikan Pesantren:

Ponpes Madrasatul Qur’an Tebuireng Jombang (Hafidzul Quran), Ponpes Nurul Quran (Hafidzul Quran) Mojowarno Jombang. Ponpes Sunan Ampel (Hafidzul Quran) Surabaya, Ponpes Gading Mangu (Hadits Nabi) Perak Jombang, sempat mendalami aliran Tasawwuf Thoriqoh Qodiriyah Wan Naqsabandiyah (2 Tahun) Pada Jalur KH. Makki Maksum Mojoagung Jombang dan KH Adlan Aly Cukir Jombang.

Kegiatan lain yang ditekuni diantaranya menulis buku-buku sastra (Novel, Cerpen dll), Naskah Drama, ilmiah dan biografi. Adapun buku-buku yang pernah ditulis:

Novel Umang, Diva Press 2009, novel Saung Naga, Elsyarif 2009, novel Ranah Sriwijaya, Elsyarif 2009, Tambatan Hati, Antalogi Puisi Cerpen dan Esai, Digna Pustaka 2009, novel Tuah, Elsyarif 2010, novel Puyang Keramat, 2012, novel Babad Sriwijaya, Diva Press 2013, Mantra Orang-Orang Hebat (Puisi) Digna Pustaka 2014, Pisau yang Terluka (Puisi) Benny Institute 2014, Fiqih Siswa, Fublishir 2015, Mutiara Kesabaran Risalah Hidup Syarif Hidayat (Biografi) Gramedia Printing Indonesia 2016, 7 Lidi Sakti Danau Rayo (cerpen) 2016 (naskah ini akan dibuat film layar kaca tahun 2017), Dewi Berambut Panjang Goa batu Napallicin, (cerpen B. Inggris) Benny Institute 2016.

Comment