Oleh : Ferry Irawan AM
Kabarkite.com – Opini (4/5), Pada tanggal yang 9 April 2014 yang lalu adalah pesta demokrasi Indonesia. Hari bersejarah dunia perpolitikan di tanah air usai dilaksanakan. Pesta itu masih menyisakan bauran memori bercampur aduk dan masih dalam perbincangan hangat setiap hari.
KPU (Komisi Pemilihan Umum) daerah dan Provinsi –belum seluruhnya– telah merampungkan tahapan-tahapannya dan penetapan suara partai diputuskan melalui rapat pleno sebagai wujud keberakhiran dari tahapan panjang program PEMILU LEGISLATIVE 2014 yang mereka laksanakan.
Bagi calon-calon yang meraup suara terbanyak boleh dibilang dapat dipastikan untuk duduk di kursi idaman sebagai Wakil Rakyat atau yang mewakili suara-suara (aspirasi) rakyat. Meskipun masih menyisakan rasa was-was. Kata “perjuangan belum usai” masih melekat di bahu mereka hingga penetapan calon terpilih nanti dan pelantikan menjadi salah seorang anggota dewan yang terhormat, legislative. Benar-benar patut untuk dibanggakan. Tidak mengherankan memang kenapa kebanyakan orang tergiur dengan jabatan ini.
PEMILU 2014 benar-benar berbeda dengan yang sudah-sudah. Sematan kata-kata LUBER (Langsung Umum Bebas dan Rahasia) sudah tidak pantas lagi digunakan di ajang PEMILU baru-baru ini. LUBET (Langsung Umum Bebas dan Terbuka) tampaknya lebih tepat dengan melihat realita yang ada di gelanggang PEMILU 2014.
Istilah serangan fajar, siraman, hadiah, bagi-bagi sembako, bantuan, biaya transport dll adalah penghalusan bahasa dari money politic. Sudah menjadi budaya yang tidak patut untuk ditiru ketika melihat salah seorang tim sukses bahkan dilakukan oleh caleg yang membagi-bagikan uang (tidak beramplop) di acara pesta kampanye. Ragam nominal pembagian uang yang dilakukan tidak lagi diwaktu fajar, melainkan di tengah hari dan di tempat terbuka. Lebih-lebih uang tidak cuma-cuma itu diberikan kepada calon-calon pemilih di pintu masuk TPS di hari berlangsungnya PEMILU.
Inilah salah satu penyebab biaya politik di negara ini mahal. Biaya yang hangus jadi abu tersebut mampu membeli sebuah pulau seukuran pulau Sumatera. Meskipun dengan cara demikian masih saja perolehan yang diraih masih sangat jauh dari yang diharapkan. Para caleg merasakan telah ditipu oleh masyarakat pemilih. Tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan dendam di kemudian harinya.
Setelah PEMILU, para caleg yang gagal tidak segan-segan menagih janji. Caleg-caleg itu telah ditipu oleh rakyatnya. Lihatlah, mereka membongkar kembali kubah masjid yang disumbangkan. Melepaskan keramik yang sudah terpasang di rumah-rumah ibadah. Menarik kembali kaplingan tanah yang telah diwakafkan untuk menjadi kuburan umum. Merobohkan jembatan dan melakukan pemblokiran jalan umum.
Dampak spontanitas yang dilakukan dari para caleg yang gagal tersebut dapat dirasakan dan dilihat langsung oleh rakyat. Sebuah kemustahilan yang sudah menjadi kebiasaan. Demikian para caleg gagal melakukan tindakan balas dendam demikian pula para caleg terpilih yang merasa tidak puas dengan perolehan suara. Hasil suara yang tidak sesuai dengan besarnya pengeluaran, perumpamaan untuk mendapatkan sepuluh gram emas ditukar dengan sepuluh kapling tambang berlian. Rakyat semestinya dapat membaca karakter calon wakil yang dirahapkan untuk membuat negara ini lebih maju. Tetapi semuanya sudah terjadi. Tidak usah mencari salah dan benar ada di pihak mana. Dan selama lima tahun ke depan, rakyat jangan terlalu berharap para caleg terpilih akan memperjuangkan rakyatnya.
*) Penulis adalah pengarang buku Mantra Orang-Orang Hebat (Mantra Puisi Pantun) dan Harimau Menteng (Sultan Mahmud badarudin II)