Reformasi Partai Politik Menghadapi Pilkada Serentak 2018 dan Pileg 2019

Opini, Politik1019 Views

Oleh: Muhammad Tuwah

(Sekretaris SUARA INSTITUTE)

 

Kabarkite.com, Opini (29/12) – Pada 2018 nanti, setidaknya terdapat 9 Pilkada di Sumsel, termasuk Pilkada gubernur/wakil gubernur Sumsel serta pada 2019 juga akan dilaksanakan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilhan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres). Pesta demokrasi itu sebagai momentum penting bagi pembangunan sistem politik lokal maupun nasional ke arah yang lebih demokratis. Melalui pemilihan langsung ini banyak harapan yang disandarkan bagi perbaikan kesejahteraan rakyat karena mendapat legitimasi politik langsung dari rakyat.  Dengan demikian akan tercipta juga responsiveness yang baik sebab semakin kritisnya rakyat dalam pengambilan kebijakan serta terbangunnya apa yang disebut dengan persamaan hak politik (political equality).

Pilkada maupun Pileg dan Pilpres yang dipilih langsung oleh rakyat tidak terlepas dari peran penting partai politik (parpol). Sebab parpol merupakan ”kendaraan” untuk mengusung para calon tersebut. Di sinilah salah satu fungsi parpol berfungsi sarana rekruitmen politik dan sarana komunikasi politik di mana parpol adalah menyalurkan pendapat dan aspirasi masyarakat. Dalam praktik politik sering kali fungsi ini tidak dijalankan oleh partai politik. Para elit partai cenderung lebih mengejar kekuasaan yang tercermin dari perebutan jabatan. Akibatanya, partai politik kurang dikelola secara profesional serta demokratis dan tidak memiliki pola pertanggung jawaban kepada publik. Kelemahan ini menunjukkan betapa partai politik di negeri ini belum kuat dan mandiri. Padahal, kekuatan dan kemandirian partai politik merupakan salah satu syarat bagi terciptanya sistem politik yang demokratis sebagai pilar utama penyangga demokrasi.

Ketika Pilkada maupun Pileg dan Pilpres, misalnya, parpol berhak mengusung pasangan calon. Makna dari ini semua adalah proses politik dalam Pilkada maupun Pileg dan Pilpres, jangan sampai mengebiri atau bahkan menghilangkan peran dan eksistensi parpol. Kalaupun saat ini masyarakat mempunyai penilaian negatif terhadap parpol, bukan berarti lantas menghilangkan eksistensi parpol dalam sistem ketatanegaraan. Semua yang terjadi sekarang hanyalah bagian dari proses demokratisasi. Menumbuhkan parpol yang sehat dan fungsional tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan sebuah landasan yang kuat untuk menciptakan parpol yang benar-benar berfungsi sebagai alat artikulasi masyarakat.

Permasalahan yang terkait dengan masalah kultur dan struktur parpol tidak mengherankan jika kemudian tingkat kepercayaan (trust) masyarakat atau bahkan sinisme cenderung merendahkan parpol. Beragam survei mengenai persoalan parpol di mata masyarakat semakin menunjukan trend negatif yang tidak menguntungkan bagi parpol secara umum. Menguatnya sinisme hingga kecenderungan ketidakpercayaan (distrust) terhadap parpol merupakan indikasi politik yang patut disayangkan sebab situasi ini dapat mengurangi makna demokrasi yang sesungguhnya.

Pilkada, Pileg dan Pilpres sesungguhnya menjadi ajang pembuktian tentang banyak hal. Di antaranya, pertarungan antara pilihan rasional rakyat dan kepercayaan diri yang berlebihan dari parpol. Pilihan rasional sebagai sesuatu yang selama ini relatif tidak terbayangkan dalam dunia politik nasional. Rasionalitas terkadang masih terabaikan, tenggelam ditengah pusaran kuatnya keyakinan akan berfungsi efektifnya pola patron-client dalam menuntun preferensi pemilih. Seiring perjalanan waktu, meskpun patron-client masih mengakar menjadi mesin kepentingan elit. Namun lambat laun pemilih semakin cerdas, sehingga masyarakat merasa berhak untuk membuat keputusan yang merdeka demi sebuah perbaikan hidup.

Saat ini suara rakyat mengalami evaluasi empiris yang rasional, berbaur dengan sedikit romantisme dan keyakinan, dari sebuah komunitas yang paling merasakan kepenatan hidup selama ini. Atas dasar itu iming-iming uang, upaya tebar pesona ataupun pengandalan political broker, seperti para tokoh agama dan tokoh informal lain, di tingkat akar rumput, terkadang sama sekali tidak menjamin sebuah hasil yang memuaskan. Apalagi jika tokoh yang diusung adalah incumbent yang selama ini tidak maksimal dalam melayani rakyat. Tokoh semacam itu segera akan berhadapan kenyataan empiris preferensi politik masyarakat yang semakin kritis dan rasional akan makin menyulitkan dirinya.

Fenomena ini sebagian besar tidak diantisipasi dengan baik oleh kebanyakan parpol, terutama pada parpol yang telah cukup puas menjadi paling popular di sebuah wilayah apakah itu provinis, kabupaten ataupun kota. Logika sempit yang meyakini adanya pararelitas antara pilihan legislatif (DPR/DPRD) dan eksekutif (Kepala Daerah) nampak cukup melambungkan kepercayaan diri yang berujung pada terbengkalainya upaya kerja keras dalam mempertahankan kepercayaan masyarakat. Alhasil, sejalan dengan logika politik modern, tidak mengherankan kalau kemudian banyak hasil Pilkada maupun Pileg dan Pilpres yang diluar prediksi partai-partai yang sudah terlanjur over confidence itu. Dari berbagai bukti yang ada Pilkada maupun Pileg dan Pilpres telah dengan gamblang menunjukkan kepada partai akan tipisnya korelasi preferensi masyarakat antara pilihan terhadap pusat-daerah maupun pilihan untuk legislatif-eksekutif. Untuk itu kepercayaan diri jelas tidak cukup dalam upaya memenangkan hati rakyat.

Pada tahun 2018 nanti terdapat 9 Pilkada, termasuk Pilgub, yang akan dilaksanakan di Sumsel. Menyusul pelaksanaan Pileg dan Pilpres tahun 2019 nanti, maka setidaknya terdapat empat faktor yang harus diperhitungkan oleh setiap parpol untuk dapat meraih hasil yang maksimal. Pertama, masalah ketepatan dalam memilih figur. Parpol jangan “berspekulasi” dengan membawa figur yang memang sudah demikian meredup pamornya di mata rakyat dan miskin prestasi. Parpol niscaya mengusung figur yang relatif segar, bersih dan diidentikan dengan harapan baru.

Kedua, masalah political networking (jaringan politik). Hal ini terutama terkait dengan masalah menjual dan memperkenalkan ide dan ketokohan seorang kandidat. Adanya dukungan dari sebuah simpul-simpul kader atau simpatisan yang militan, solid dan bekerja secara sistematis. Di sini sebuah proses kadersiasi yang berjenjang dan digarap secara serius merupakan esensi dan motor bagi kematangan sebuah jaringan politik.

Ketiga, tema  atau jargon yang lebih menonjolkan sentimen primordial jelas merupakan hal-hal yang harusnya tidak menjadi menu utama kampanye saat ini. Hal ini karena dengan semakin kritisnya masyarakat, maka tema-tema politik yang tidak mengarah pada kepentingan mereka akan cenderung ditinggalkan.

Keempat, citra partai. Semakin baik citra partai, semakin mempermudah upaya untuk menarik simpati rakyat. Citra positif partai itu sendiri merupakan akumulasi dari sebuah komitmen pelayanan dalam bentuk kerja-kerja konkrit yang dapat dirasakan langsung, perjuangan sungguh-sungguh di dalam parlemen, kepedulian yang tinggi terhadap keprihatinan rakyat yang tercermin dari keinginan untuk mau menjadi teman di kala sulit. Prinsipnya upaya memenangkan hati masyarakat ke depan bukanlah pekerjaan sekejap mata. Namun sebuah proses panjang yang melibatkan banyak elemen di dalamnya.

Di sinilah reformasi parpol menjadi suatu keniscayaan. Menurut Abdul Gafur Sangadji, reformasi parpol memang sebuah keniscayaan demokrasi modern saat ini karena harapan untuk membangun masa depan politik yang lebih demokratis sulit terwujud jika parpol sebagai kekuatan demokrasi tidak menunjukan i’tikad baik. Bila merujuk pada pemikiran Robert Michels (1984), maka jawabannya adalah karena kuatnya oligarki parpol. Parpol dengan sistem ini memang sulit untuk membuka ruang kebebasan bagi kadernya. Kebijakan partai bertumpuk pada kekekuasaan elite partai. Sehingga sulit untuk diterapkannya sistem desentralisasi kepartaian. Tidak sedikit kader parpol yang “cemerlang” dan “potensial” harus “mati suri” sebab diwajibkan taat terhadap keputusan partai yang bersifat final, sehingga secara perlahan terjadi “pembunuhan” karakter terhadap kader tersebut.

Parpol yang cenderung hegemonik akan terjebak dalam logika kalkulasi kepentingan politik. Sehingga sulit untuk menerima hal yang bertentangan dengan kepentingan partai. Lebih jauh, pengamat politik CSIS, J Kristiadi menilai, kini partai politik diisi petualang-petualang yang oportunistis dan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak berwawasan kenegaraan. Hal yang sama juga diungkapkan pakar hukum tata negara, Saldi Isra, proses kaderisasi parpol belum berjalan maksimal dan kurang memperhatikan kader-kader di tingkat daerah. Parpol saat ini belum sepenuhnya menjadi tempat untuk menempa kader menjadi politikus yang handal.

Sepanjang sejarah reformasi, tergambar komposisi aktor-aktor di mana secara materil memang berganti, tetapi substansi karakternya masih belum banyak berubah. Jika kita amati secara empirik, tipikal elit-elit politik di Indonesia yang paling mencolok dan cukup terasa biasnya bagi rakyat hingga saat ini yaitu ; 1). adanya kecenderungan para elit politik hanya mengutamakan kepentingan dan agenda politik mereka sendiri; 2) adanya upaya keras mempertahankan posisi mapan mereka saat ini; 3). Para elit politik belum terbuka terhadap kritikan, sehingga secara implisit berupaya membendung munculnya pencerdasan politik rakyat karena khawatir dapat melahirkan sikap kritis rakyat pada mereka yang dapat berimbas pada lunturnya dukungan rakyat kepada elit. Sistem politik kepartaian harus segera dibenahi sebab bila tidak, maka berimbas pada “mandul”-nya fungsi parpol sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen poltik, dan pengatur konflik. Parpol lebih sering berfungsi sebagai alat kepentingan individu daripada agrerasi kepentingan kelompok.

Reformasi parpol tidak hanya sebatas pencitraan, tetapi bersifat mendasar dan komprehensif, yakni; pertama, visi, platform, dan program partai perlu diperjelas. Seluruh sumber daya manusia di parpol perlu memahami cara memperjuangkan dan merealisasikan aspirasi rakyat. Kedua, proses-proses politik di internal parpol perlu didekonstruksi secara demokratis. Hal ini sangat penting demi tetap terpeliharanya iklim demokrasi. Mekanisme kepemimpinan dan perekrutan harus berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi, seperti partisipatif, jujur, adil, akuntabel, dan transparan serta bebas money politics. Parpol juga perlu benar-benar menjalankan pendidikan politik bagi rakyat, sosialisasi politik, dan komunikasi politik yang baik. Ketiga, moralitas dan patsun politik para politikus partai perlu diperbaiki. Parpol harus menerapkan sanksi yang tegas, hingga pemecatan, kepada pemimpin, pengurus dan kadernya yang masih tetap melakukan tindakan tidak terpuji. Keempat, perlu dilakukan regenerasi. Kalangan muda tampil dalam kepemimpinan parpol yang akan membawa “darah segar” dan inspirasi baru. Kehadiran mereka juga akan memunculkan harapan baru dan perbaikan citra di mata rakyat. Kelima, partai politik perlu mulai turut merumuskan arah bangsa. Sebagai institusi pencetak dan perekrut pemimpin bangsa, parpol perlu memiliki konsep bagi masa depan bangsa. Kecenderungan menempatkan parpol hanya sebagai komoditi harus dihentikan.

Upaya reformasi partai politik dilakukan selain menyelamatkan demokrasi dan menghindarkan kehidupan bangsa dari deparpolisasi, juga untuk menyelamatkan parpol sendiri dari bahaya ditinggalkan rakyat. Potret buram yang ada di parpol sekarang ini perlu dibersihkan, agar tetap bisa eksis dalam iklim persaingan yang lebih sehat. Semoga. ( Opini/red)

Comment