Sikap Atas Peringatan KAA Ke-60

Uncategorized625 Views

image

Foto : Pin KAA ke-60

Kabarkite.com – Jakarta 20/4), Untuk kali kedua, Indonesia menjadi tuan rumah peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA), sebuah peristiwa internasional yang menjadi leitstar atau bintang penerang dan inspirasi cemerlang bagi banyak negara-negara dunia.

Peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika akan diselenggarakan secara marathon di dua kota utama Indonesia yakni Jakarta, 19-23 April 2015 dan dilanjutkan dengan puncak peringatan di kota Bandung, 24 April 2015.
Sebelumnya, satu dasawarsa lalu, tepatnya pada tanggal 22-24 April 2005, Indonesia juga menjadi tuan rumah peringatan 50 tahun Konferensi Asia Afrika.

Sebagaimana dikutip dari laman resmi Asian African Conference Commemoration Indonesia 2015, seluruh peserta yang hadir pada tahun peringatan KAA 2005 meyakini bahwa Bandung Spirit senantiasa menjadi dasar yang kokoh untuk memelihara hubungan yang lebih baik di antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika serta untuk menyelesaikan isu-isu global. Peringatan KAA tahun 2005 mengarah pada penciptaan Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (NAASP).

Peringatan KAA ke-60 sendiri mengambil tema “Penguatan Kerjasama Selatan-Selatan dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan dan Perdamaian Dunia”. Diperkirakan sebanyak 109 negara Asia dan Afrika, 16 negara pengamat dan 25 organisasi internasional berpartisipasi dalam acara penting tersebut.
Adapun rangkaian pertemuan ini akan diawali dengan pertemuan tingkat pejabat tinggi (Senior Official Meeting) pada tanggal 19 April 2015, diikuti oleh pertemuan tingkat menteri (Ministerial Meeting) pada 20 April dan pertemuan tingkat kepala negara (Leaders Meeting) pada 22—23 April 2015. Selain itu, Asia-Africa Business Summit akan diselenggarakan pada 21—22 April di Jakarta sebagai acara pendamping.

Namun, jika kita melakukan refleksi, perjalanan sejarah menunjukkan semakin merosotnya peran mayoritas negara-negara peserta Konferensi Asia Afrika 1955 dalam konstelasi global. Seiring dengan bubarnya Uni Sovyet dan berakhirnya perang dingin, Bandung Spirit sebagai suatu gerakan yang kemudian mengkristal dalam Gerakan Non Blok (1961) pun semakin tersisih. Cengkeraman Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya makin hegemonik ditandai pula dengan cengkeraman kapitalisme global dengan berbagai instrumennya baik melalui lembaga keuangan maupun organisasi perdagangan dunia. Negara-negara di Asia-Afrika yang mayoritasnya negara berkembang jatuh dalam perangkap imperialism/neo-kolonialisme, politik perang minyak, serta perdagangan bebas.

Semangat KAA (Bandung Spirit) makin ditinggalkan. Banyak di antara pemimpin-pemimpin negara berkembang (Selatan) menjadi abdi yang setia bagi kapitalisme global dan gagal menjadi agen perubahan sebagaimana semangat KAA 1955. Sebagai pengecualian, perkembangan di Amerika Latin memberi angin segar dengan bangkitnya semangat berdaulat, menolak dikte negara-negara yang lebih maju.
Saat yang sama, rakyat di negeri-negeri maju (developed country) atau jantung kapitalisme global itu juga mulai tercerahkan, dan bersikap kritis kepada pemerintahnya. Peristiwa demonstrasi besar-besaran anti globalisasi terjadi dalam berbagai forum ekonomi dunia, seperti pada pertemuan WTO di Seattle (November 1999), pertemuan G-8 di Montreal (November 2000), Genoa (Juli 2008), penyelenggaraan forum tandingan World Social Forum, dan lain sebagainya. Mereka menyuarakan tuntutan tatanan dunia baru yang lebih baik. Slogan “Another World is Possible”, “Globalise Resistance”, “Global Justice”, “Fair Trade not Free Trade” menyebar seperti wabah.

Maka, dalam situasi ini, menyambut penyelenggaran acara akbar ini, Partai Rakyat Demokratik (PRD) memandang:
Bandung Spirit dengan Dasasila-nya harus dikembalikan pada ruh sejatinya: anti imperialism/neo-kolonialisme. Di tengah teriakan-teriakan dan tuntutan akan keadilan global, pengurangan kesenjangan dan kemiskinan, pajak tinggi bagi orang kaya, maka Peringatan Konferensi Asia Afrika Ke-60 di Indonesia harus menjadi momentum kebangkitan, bukan seremoni dan untuk lobi dagang. Lewat semangat Dasasila Bandung 1955, rakyat di lebih dari 30 negara dapat dibebaskan dari kolonialisme; merdeka dan mencari jalan untuk mandiri dan bermartabat.

Peringatan Konferensi Asia Afrika jangan diselewengkan menjadi agenda penguatan sistem kapitalisme global karena hanya membicarakan suatu reformasi-reformasi ekonomi yang bersifat tambal sulam tanpa upaya melepaskan cengkeraman imperialisme-neoliberal atas rakyat Dunia Ketiga.
Kesepakatan NAASP yang digulirkan pada peringatan KAA Ke-50 tahun 2005 yang dilanjutkan pada event KAA 2015 ini hendaknya tidak menjadi kuda tunggangan kepentingan negara-negara maju untuk melanggengkan hegemoninya pada negara berkembang.
NAASP memang secara prinsip ditujukan untuk memperkuat multilateralisme, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan perdamaian dan keamanan global, dan mengupayakan jalur pertumbuhan berkelanjutan antara kedua kawasan, tetapi jika diturunkan ke tingkat program yang lebih praktis rentan dengan agenda terselubung kapitalisme global.

Rencana Pemerintah untuk menaikkan isu kemerdekaan Palestina dalam forum ini patut dihargai sebagai hal yang positif. Tapi untuk menghindari pandangan yang salah bahwa isu tersebut sekedar untuk memoles acara peringatan KAA terlihat ‘sedikit berbeda’, maka selayaknya pemerintah Indonesia cq Presiden Joko Widodo mengajukan proposal tindakan yang lebih aktif dalam membendung zionisme dan mendukung terbentuknya negara Palestina yang berdampingan secara damai dan setara dengan Israel.

Pada akhirnya: “Let a new Asia and a new Africa be born,” begitu kata Bung Karno dalam pidatonya di depan peserta Konferensi Asia Afrika 60 tahun lalu. Kami, Partai Rakyat Demokratik percaya bahwa seruan Bung Karno ini bisa diwujudkan apabila para pemimpin negara Selatan-Selatan teguh menjiwai Bandung Spirit. Dirgahayu!
 
Pancasila Dasarnya, Trisakti Jalannya, Republik Indonesia Keempat: Masyarakat Adil Makmur Tujuannya! (rilis/prd)

Comment