SUMSEL BARAT : Barometer Menuju Percepatan Pertumbuhan Pembangunan Daerah

Opini912 Views

 

 “Saya kira intinya pemekaran tidak apa-apa asalkan untuk kemakmuran rakyat, arahnya ke sana. Tapi kalau pemekaran hanya untuk mengejar sebuah pemerintahan baru, itu yang tidak baik”. (Praseden RI, Joko Widodo)
Kabarkite.com, Opini (27/3) – Dari pernyataan Presiden Joko Widodo tersebut di atas disampaikan pada saat lawatan kerjanya di salah satu provinsi di pulau Sumatera. Secara emperik pernyataan tersebut dapat dijadikan refrensi sekaligus konsideran kendati pernyataannya normatif namun memiliki nilai berdasar bagi daerah yang sedang dalam proses pembentukan daerah otonomi baru (DOB) pada umumnya dan daerah yang baru dalam wacana pemekaran, seperti Sumsel Barat pada khususnya.

Kesempatan Sumsel Barat menjadi provinsi baru di Indonesia cukup terbuka lebar, kendati memang ada proses panjang karena PP nya sendiri belum selesai satu sisi dan pemberlakuan DOB persiapan pada sisi lain.

Semulanya pembentukan DOB hanya mengalami satu kali pembahasan. Namun bedasarkan amanah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 mekanisme DOB dimulai dengan Peraturan Pemerintah sebagai DOB persiapan, setelah 3 tahun masa persiapan kemudian dievaluasi dan baru ditetapkan sebagai DOB defenitif oleh DPR dalam bentuk UU DOB.

Walaupun Pemerintahan Jokowi-JK memberlakukan moratorium, tapi tampaknya bagi usulan pemekaran yang sebelumnya telah dibahas DPR periode 2009-2014, tetap terbuka kemungkinan karena sebagaimana diketahui dari 87 paket Rancangan Undang-Undang Daerah Otonomi Daerah (RUU DOB) yang telah dibahas DPR periode 2009-2014 sampai saat ini masih diagendakan pembasannya meski rencana hanya ditetapkan menjadi daerah persiapan atau DOB persiapan yang concern dalam UU di atas.

 

PELUANG DAN TANTANGAN SUMSEL BARAT

Di antara peluang pemekaran, sekurang-kurang terdapat dua point secara nasional membuka kesempatan bagi daerah untuk melakukan pemekaran wilayah. Pertama. Babak baru pembahasan DOB. Selama dua tahun di awal pemerintah Jokowi-JK terkait moratorium – setelah rapat tripartit antara DPR, DPD, dan pemerintah pada bulan lalu – menjadi clean dan clear bahwa pemberlakukan moratorium dimaksudkan selama 3 tahun kedepan tidak ada DOB defenitif. Artinya, jika 87 paket RUU DOB ditetapkan di tahun 2016, berarti selama rentang 3 tahun kedepan adalah hanya masa persiapan dan kembali ditetapkan setelah dilakukan beragam evaluasi oleh DPR serta baru dibentuk UU DOB di tahun 2019.

Kedua. Fokus pembangunan di luar Pulau Jawa, menyadari pembangunan selama ini yang terpusatkan di Pulau Jawa berekses pada ketimpangan. Pada tahun 2016 ini pemerintahan Jokowi-JK pun melirik daerah di luar Pulau Jawa sebagai prioritas program pembangunannya. Maka prioritas tersebut menjadi kesempatan bagi daerah di luar Jawa untuk melakukan pemekaran.

​Dua point di atas merupakan pintu masuk bagi daerah yang sedang dalam proses atau baru dalam wacana pemekaran daerah, yang memang Pasca Pilpres 2014, pemerintahan Jokowi-JK belum secara detail mengkaji dan fokus terkait dengan pembahasan agenda DOB.

Untuk memasuki pintu baru DOB, secara etika paradigma pemekaran sudah harus digesar, pegeseran dimaksudkan alasan pemekaran bukan soal “politik” melainkan jawaban untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pertumbuhan pembangunan daerah, maka semata-mata alasan tersebut ditambah dengan kemantaban syarat geografis, demografis dan administrasi maka kesempatan Sumsel Barat semakin mulus untuk menjadi provinsi baru.

Namun jalan menuju Sumsel Barat tidaklah mulus, memang dalam tiap peluang tentunya pasti ada hambatan sebagai antagonisnya. Sungguh disayangkan sesuatu yang menganjal Sumsel Barat saat ini justru muncul dari daerahnya sendiri. Tentunya hal semacam ini menjadi tantangan yang harus dijawab

Pasalnya, daerah-daerah yang bakal menjadi wilayahnya saat ini sedang dalam konsentrasi Pilkada, walaupun ada beberapa daerah tidak dalam masa Pilkada, tapi kepala daeranya sedang dalam masa bulan madu, karena baru dilantik sebagai Kepala Daerah terpilih pada bulan lalu.

 

JALAN YANG DITEMPUH

Pelik rasanya berfikir tentang pemekaran provinsi di tengah tensi Pilkada yang terus meningkat. Kalau dahulunya isu pemekaran dapat dijadikan ajang konsolidasi bagi calon kepala daerah, cakada. Namun dalam konteks Pilkada serentak – Pilkada Kabupaten atau Kota maupun Pilkada Provinsi – bola panas pemekaran terkadang liar tidak terkendali dan kekhawatiran menjadi senjata lawan untuk menyerang cakada, sehingga moment Pilkada serentak 2017, isu Sumsel Barat ditinggalkan oleh banyak cakada.

Meski didapati solusi cerdas yang secara konstruktif dan komprehensif agar keduanya kendati tidak harus beriringan tetapi tetap dapat bergerak simultan.

Secara cerdas solusi yang dibangun adalah Pertama. langkah Soft berupa diskusi publik, karena dengan turun aksi dan memblokir jalanan bukan lagi zamannya. Diskusi publik adalah gagasan brilian untuk menguji kelayakan suatu wilayah yang ingin dimekarkan, paling tidak dapat menjadi ajang untuk menyamakan rumusan masalah.

Pemekeran daerah tidak akan selesai melalui vested interest apalagi hanya diupayakan oleh segelintir elit melalui penekanan politik. Dengan langkah dan cara soft melalui diskusi publik, persepsi dan tujuan serta segala macam kelengkapan yang dibutuhkan atau masalah lain yang menganjal dalam pemekaran wilayah akan bisa dijawab melalui rumusan hasil dari diskusi publik tersebut.

Kedua. Tokoh, menjadi keharusan dalam menggagas sebuah wilayah yang ingin dimekarkan ada sosok tokoh atau seorang yang ditokohkan. Dalam musim politik seperti sekarang ini memang agak sulit mencari tokoh yang pure berjuang untuk pemekaran wilayah, apalagi ia seorang cakada, image yang ditimbulkan akan berdampak negatif.

Pentokohan meski dicermati serius apalagi dalam memilih tokoh, para pro pemekaran harus menilai segi dedikasi dan netralitas dari seorang tokoh atau yang ditokohkan. Netralitas sangat penting agar wacana pemekaran tidak diklaim bonceng-membonceng. Siapapun itu orangnya, yang jelas dia adalah seorang tokoh yang mempunyai nama besar dan berekam jejak baik.

Dalam masa politik seperti sekarang memang agak sulit mencari seseorang seperti demikian, menurut pendapat penulis tokoh demikian mungkin hanya dapat disematkan kepada Gubernur Terrance Sumatera Selatan, H. Alex Noerdin dan atau tokoh yang sekaliber beliau. Namun sejauh ini belum ada tokoh sekaliber beliau yang memiliki nama baik sekaligus netral dalam posisi pertarungan Pilkada serentak terlebih lagi beliau berlatar keturunan Musi-Lintang. Hubungan take and give justru akan terjalin baik, baik bagi pemekaran di satu sisi dan dedikasi terakhir tokoh seperti H. Alex Noerdin kepada masyarakat (kampung halaman) yang berada di barat Provinsi Sumatera Selatan pada sisi lainnya.

Ketiga. Pemekaran wilayah hanyalah persoalan administrasi, sudah seharusnya pemekaran diwartakan sebagai dinamika administrasi. Kalau boleh jujur, orang yang berada di barat Provinsi Sumatera Selatan juga “kalau makan empek-empek pasti ngirup cuka”. Sehingga pemekaran wilayah tersebut tidak terkesan pelepasan atau pemisahan melainkan menjadi wujud pemantaban wilayah yang berada di sumatera bagian selatan agar menjadi daerah yang mandiri dan makmur.

 

GPN DAN MASYARAKAT

​Menyimak perkembangan wacana Sumsel Barat, secara sporadis beredar beberapa tokoh baik dari kalangan agamawan, professional, politik hingga bahkan beberapa dari kepala daerah juga telah turut berpartisipasi dalam pengayaannya sebagai calon provinsi baru di Indonesia.

Upaya serupa muncul dari kalangan anak muda yang berbasis di Gerakan Pemuda Nusantara (GPN), secara kelembagaan telah menunjukkan konsistensi dalam penyuarakan Sumsel Barat di samping organisasi GPN sedang dalam pengupayaan dalam memformulasikan gagasan diskusi publik yang dikemas dalam seminar nasional sebagai wujud dari konsistensinya.

Seminar dimaksud sebagai fasiltas masyarakat untuk mempertemukan para tokoh agar bisa berkumpul bersama dengan menduduk barengkan kepala-kepala daerah untuk diskusi dan merumuskan Sumsel Barat yang dipandu langsung oleh fanelis baik dari DPR, DPD dan Pemerintah Pusat.

Merealisakan wacana tersebut tidak lah mudah, tidak cukup dengan konsep. Apalagi sekarang masuk dalam masa politik Pilkada, pemilihan waktu dan tempat turut menetukan. Agar tetap terlaksana wacana tersebut harus mengunakan navigasi. Dan sebagai timing yang tepat pelaksanaannya adalah sebelum tahapan Pilkada serentak 2017 dimulai, “bak sebuah kapal yang sedang berlayar menuju destinasi pulau nan indah tentunya banyak orang yang ingin menumpang dan juga ada yang ingin membajak. Kira-kira seperti itulah ilustrasinya.

Dalam politik segala kemungkinan harus diprediksi, dibutuhkan kompas untuk membaca segala macam kekuatan politik yang dapat menekan di dalamnya. Kemungkinan wacana disetting, dipelintir, dan disetir hingga baru dimulai sampai semua tahapan Pilkada serentak 2017 berakhir bisa terjadi. Sehingga pada akhirnya Sumsel Barat hanya diperalat untuk kepentingan “politik sakit hati”, yang dapat dimungkinkan dibuat sebagai tandingan terhadap pemerintahan terpilih. Sungguh prilaku ini tidak sesuai dengan konstitusi dan tujuan asli dari pekeran itu sendiri.

Kembali penulis ingatkan pesan dari Presiden Joko Widodo bahwa pemekaran tidak hanya persoalan politik dan tujuannya bukan semata-mata pembentukan pemerintahan baru. Mengingat derasnya arus Pilkada, kapal wacana pemekaran Sumsel Barat harus kuat dan kokoh. Dengan tetap memperhatikan arah mata angin, kapal belayar dapat tetap terencana, terukur dan pada akhirnya nanti mengarah kepada pembentukan Sumsel Barat sebagai Provinsi Baru di Indonesia yang tujuan hakikatnya, yaitu. Percepatan Pertumbuhan Pembangunan Daerah.(red)

Penulis : Prasetyo Nugraha {FUNGSIONARIS GERAKAN PEMUDA NUSANTARA} 

Comment