Sun Tzu Approach to JKN

by -684 Views
by

image

Kabarkite.com – Opini (23/2),
Written by: Erta Priadi Wirawijaya

Jika Progam Baru Pemerintah ini dianalogikan sebuah peperangan kira-kira bagaimana ya Pendekatan yang akan diambil oleh Sun Tzu? Untuk yang belum tahu, Sun Tzu adalah seorang panglima sekaligus ahli strategi yang hidup 544 SM. Karya tulisnya Art of War menjadi sebuah buku terkenal yang hingga kini masih relevan untuk digunakan dalam banyak hal, termasuk soal JKN ini.. Saya mencoba mengibaratkan program Jaminan Sosial ini sebagai perang karena Panglima Tertinggi Republik ini adalah seorang Jendral Besar Angkatan Darat yang seharusnya mengetahui strategi perang. Mungkin dengan demikian, apa yang saya sampaikan bisa dicerna yang bersangkutan dengan lebih mudah.

1) “know yourself and you will win all battles” – Kenali dirimu dan kau akan memenangkan semua peperangan.

Perang ini bisa jadi maksudnya baik, tapi kesuksesan sebuah peperangan sangat ditentukan oleh persiapan dan perhitungan yang matang, bukan keberuntungan. Jepang sebelum berani menyerang Amerika di perang dunia kedua mempersiapkan diri membangun armada perang yang tangguh. Bagaimana dengan Indonesia? Rumah Sakit di Indonesia masih banyak yang kekurangan Dokter, banyak yang kekurangan alat medis, banyak yang kekurangan obat. Program Jaminan Sosial sebelumnya JAMKESMAS menyisakan hutang yang menggunung hingga 1.8T yang belum terlunasi hingga kini. Banyak RS yang mengalami kesulitan pendanaan hingga harus beroperasi dalam keterbatasan. Obat-obatan tidak ada, alat medis yang rusak tidak kunjung diperbaiki, fasilitas gedung yang rusak dimakan usia terus digunakan menjadi realitas yang dialami banyak RS di Indonesia. Bahkan banyak puskesmas di pelosok negeri dibiarkan terbengkalai tanpa tenaga dokter.

Keberhasilan sebuah perang sangat dipengaruhi semangat pasukan, dan jika dianalogikan lagi posisi dokter dalam perang ini adalah sebagai pasukan yang “terpaksa” menjalankan program pemerintah. Saya bilang terpaksa karena pendapat dokter jelas tidak dianggap dalam menentukan kebijakan ini. Masukan kami melalui organisasi profesi tidak dianggap, masukan rumah sakit melalui asosiasi RS juga tidak dianggap. Akibat rendahnya anggaran yang disiapkan, belum adanya aturan teknis atau sosialisasi yang cukup, dan rendahnya kompensasi memupuskan semangat kami bahkan sebelum perang ini dimulai. Hal tersebut sepatutnya menjadi kekhawatiran Jendral yang ditugaskan dalam perang ini… Sayangnya bukannya menjadi pemimpin yang baik yang bisa menangkap aspirasi pasukan, menenangkan, dan meyakinkan pasukannya untuk berkomitmen dalam perang ini. Sang jendral malahan menihilkan potensi masalah yang mungkin timbul dalam peperangan dan balik mengancam “Kalo mogok, kalian saya bunuh pelan-pelan!.” Apakah seorang tokoh yang sebelum perang telah membunuh semangat prajuritnya masih pantas dipercaya memimpin? Menurut saya tidak…

Mengenai hal ini Sun Tzu berkata : “Treat your men as you would your own beloved sons. And they will follow you into the deepest valley.” Perlakukanlah anak buahmu seperti halnya anakmu, maka mereka akan mengikutimu hingga lembah yang terdalam. 

Jika diibaratkan peperangan, pasukan ini dipaksakan terjun dalam keadaan yang tidak siap, tidak bersemangat, tidak ada instruksi yang jelas, dengan perlengkapan seadanya dan babak belur akibat perang kemarin yang masih menyisakan segudang masalah.

 

2) Kenalilah Medan Pertempuran

Salah satu kunci keberhasilan perang lainnya adalah mengetahui seperti apa medan pertempuran yang harus dihadapi. Hal tersebut mengharuskan seorang pemimpin mengetahui tantangan apa yang harus dihadapi dalam upaya membangun kesehatan Indonesia. Indonesia adalah negara dengan penduduk keempat terbesar di dunia yang tersebar di ribuan pulau. Tingkat pembangunan dan pendidikan masyarakat Indonesia belum merata. Di daerah terpencil masyarakat belum sepenuhnya memahami bagaimana cara menjaga kebersihan sehingga banyak penyakit menular yang sebenarnya dengan mudah dicegah masih merajalela. Di kota masyarakat justru melupakan bagaimana hidup sehat sehingga beragam penyakit metabolik seperti diabetes dan penyakit jantung meningkat tajam. Sayangnya dokter masih terkonsentrasi di pulau jawa, rumah sakit kecil di daerah banyak yang kekurangan dokter. Puskesmas di pelosok banyak yang tidak terisi dokter.

Luasnya Indonesia dan tidak meratanya dokter membutuhkan kebijakan yang mendorong agar tersebar dokter merata sehingga permasalahan kesehatan di suatu daerah dapat teratasi dengan baik. Namun kebijakan yang diciptakan di Era JKN justru mendorong dokter untuk bekerja di perkotaan. Bagaimana tidak, kini dengan sistem kapitasi yang memukul rata kompensasi yang diberikan hanya akan mendorong dokter bertugas di kota, karena disitulah zona nyaman manusia. Dengan sistem InaCBG yang membedakan kompensasi yang didapat Rumah Sakit berdasarkan Kelasnya, hanya rumah sakit besar diperkotaan yang akan makmur dan berkembang. Rumah Sakit kecil akan dibayar murah, akan kesulitan menangani pasien, dan akibatnya lagi-lagi dokter akan memilih untuk bekerja di RS besar yang umumnya hanya ada di perkotaan.

Jika diibaratkan peperangan, sang panglima dihadapkan pada medan pertempuran yang berat, namun pasukan justru dikonsentrasikan di zona-zona aman sehingga rakyat di pedalaman terabaikan, tidak terlindungi dan menjadi korban musuh. Hal ini tentunya bukan cara memenangkan pertempuran.

 

3) Kenali Musuhmu

Hal lain yang harus dipikirkan dalam peperangan tentunya adalah mengenal musuh yang akan dihadapi. Musuh dalam perang ini adalah permasalahan kesehatan Indonesia. Setelah 68 tahun merdeka, angka kematian Ibu dan Anak masih salah satu yang tertinggi di dunia. Penyakit TBC yang berhasil membunuh pahlawan kita Jendral Sudirman masih belum teratasi, bahkan kasus TB yang resisten terhadap obat semakin banyak ditemukan. Penyakit infeksi baru seperti HIV/AIDS semakin sering ditemukan, penyebarannya di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia. Masyarakat Indonesia yang memiliki Tekanan Darah Tinggi, Obesitas, Diabetes, Dislipidemia, dan Merokok terus meningkat sehingga Penyakit Kardiovaskular menjadi pembunuh nomer satu di Indonesia. Semua permasalahan kesehatan tersebut harus diidentifikasi sebaik-baiknya. Strategi harus dibuat untuk mengatasinya satu persatu. Komitmen harus dibuat

Menghadapi musuh yang banyak dan kuat di suatu medan yang sangat sulit membutuhkan perhitungan matang. Langkah-langkah harus diambil sehingga negara ini dapat terjun dalam peperangan ini dengan semangat tinggi mental dan angkatan perang yang kuat. Yang terjadi saat ini justru sebaliknya, semangat pasukan justru dihilangkan oleh sang jendral (kalo tidak patuh dibunuh pelan-pelan ujar Menkes), instruksi yang diberikan tidak jelas sehingga pelayanan menjadi kacau (petunjuk teknis, peraturan pemerintah belum ada). Penyebaran pasukan tidak merata dan tidak efektif (kebijakan pemerintah justru mendorong dokter terkonsentrasi di kota-kota besar). Suplai makanan (obat-obatan) menipis karena pemerintah belum menggantinya (masih berutang 1.8 Trilyun ke RS diseluruh Indonesia). Peralatan perang (alkes) masih terbatas, dan sangat tergantung bantuan asing yang harus dibayar mahal (mayoritas diimpor dan masuk dengan pajak barang mewah). Ajaibnya dengan semua permasalahan tersebut, pemerintah hanya menganggarkan 1% dari PDB Indonesia untuk semua itu, kalah jauh dari rata-rata negara Afrika yang anggaran kesehatannya lebih dari 10% PDB.

 

Pertanyaan terakhir yang perlu dipikirkan oleh panglima besar kita adalah, Apa benar perlu berperang? Apa sistem lama sudah tidak bisa diperbaiki lagi? Apa persiapan sudah cukup sehingga program baru ini bisa berjalan dengan baik?

“He will win who knows when to fight and when not to fight” 

Apa bijak perang ini dimulai tepat 1 Januari saat program Jamkesmas / ASKES sebelumnya menyisakan sejumlah besar hutang yang hingga kini belum terbayar lunas? Apakah pantas infrastruktur pelayanan kesehatan kita dipaksa untuk turut berperang, siap atau tidak siap, dengan instruksi yang belum jelas dan kompensasi seadanya?

Peperangan bukan sesuatu yang patut dianggap remeh, begitu pula dengan kebijakan pemerintah di bidang kesehatan bukan sesuatu yang patut dianggap remeh. Kesehatan Negeri ini tidak pantas dihargai rendah dengan anggaran seadanya, fasilitas seadanya, obat dan alkes seadanya. Kebijakan raksasa yang akan mempengaruhi hajat hidup orang banyak ini tidak sepantasnya dipimpin oleh seseorang yang inkompeten yang tidak mau mendengar masukan para penasihat yang menjadi ahli dibidangnya atau merendahkan bawahannya. Pelayanan kesehatan tidak bisa jalan tanpa persiapan yang matang karena nyawa manusia menjadi taruhannya, dan tidak seseorang yang masih memiliki hati nurani tidak akan berkata : mari perbaiki program ini sambil jalan karena nyawa manusia yang telah hilang tidak akan bisa kembali.

Dokter Indonesia menaruh harapan besar agar program ini bisa sukses, kami mendambakan sistem kesehatan yang baik sehingga kami bisa bekerja menolong orang secara maksimal. Tapi kami tidak akan pernah mendukung sebuah sistem yang memaksa kami bekerja dalam keterbatasan sehingga pelayanan kesehatan tidak diberikan sesuai standar medis. Kami mendukung program ini karena yang menjadi taruhan bukan hanya pencitraan positif sekelompok pihak tapi juga rakyat negeri ini. Karenanya progam ini patut mendapat perhatian segera dari pemerintah, perubahan harus secepatnya direalisasikan. Tanpa hal tersebut, dapat dipastikan kita semua sebagai bangsa akan kalah dalam perang ini, dan lagi-lagi rakyat yang akan menjadi korban.
(dib-online.org)