Menakar Kekuatan Incumbent untuk SUMSEL 1

Uncategorized496 Views

Prasetyo (Mahasiswa Pasca Sarjana UI)

Kabarkite.com, Opini-Pemilihan umum merupakan peristiwa politik, di mana beragam faktor turut berpengaruh. Dapat bermula dari syahwat kekuasaan, ambisi, motif ekonomi, kekayaan, adu gengsi, balas dendam, katarsis kekecewaan, sentimen kolektivitas, sikap primordialisme, atau karena peduli dan terpanggil untuk membangun daerah. logika baru dalam pemilihan umum ataupun kepala daerah pasca reformasi “pemasaran politik” menjadi kunci dibanding negoisasi, kesepakatan, konsesi, dan lobi tingkat elit yang selama ini gandrung dalam percaturan politik. Hal ini merupakan buah dari manisnya demokrasi yang syarat dengan kedaulatan penuh di tangan rakyat. Sehingga dalam konteks pemilihan lansung baik dalam pemilihan umum ataupun kepala daerah, rakyat menjadi indikator/subyek keberhasilan demokrasi.

Menurut Anthoni Down (1957), masyarakat sebagai pemilih bukanlah wayang yang tidak memiliki kehendak bebas dari kemauan dari dalangnya, orientasi pemilih dalam menentukan sikapnya dipengaruhi oleh dua hal, yakni orientasi isu dan kandidat (figur). Pertama, orientasi isu berpusat pada pertanyaan apa yang seharusnya dan sebaiknya dilakukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Kedua, orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat (figur) tanpa mempedulikan label partainya.

Dalam kontek masyarakat Sumatera Selatan isu dan figur (kendatipun figur yang lebih dominan) merupakan hal utama dalam ihwal menjatuhkan pilihan politik. Maka dengan demikian, penentuan program dan sosok “individu” kandidat menjadi barometer menuju “SUMSEL 1”, karena hal tersebut merupakan kunci jawaban untuk memikat sekaligus merebut hati masyarakat.

Menyelami lebih dalam kaitan karakter politik masyarakat Sumatera Selatan sebagai pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah, secara priodisasi terdapat dua sifat mendasar hasil olah dari kultur politik Indonesia umumnya dan masyarakat Sumatera Selatan khususnya, Pertama, pelaksanaan pemilihan umum (5 tahunan) dengan sendirinya mendidik serta mencerdaskan masyarakat, dari rutinitas 5 tahun-an tersebut menyadarkan masyarakat akan peran dan fungsi politik mereka suatu sisi, dan atau suatu sisi lain muncul sifat taktis masyarakat mengenai “need end hope” (kebutuhan dan harapan). Dari dua sifat diatas, 1). Sifat sadar (startegis) dengan sendirinya melahirkan pemilih kritis, dan 2). Sifat taktis memunculkan karakter pemilih – pemburu rente.

Kedua, Hajatan politik seperti Pilkada atau Pemilu yang selalu di dominasi wajah lama dan disamping itu, ditingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja dan dedikasi “wajah lama” tersebut setiap harinya makin berkurang, sehingga dengan kondisi seperti ini sifat masyarakat sebagai aktor penting dalam Pilkada atau Pemilu mencoba mencari dan menemukan wajah-wajah fresh.

PETA POLITIK : MENUJU SUMSEL 1
Memasuki gerbang tahun baru 2013, aura dan hingar bingar pemilihan gubernur Provinsi Sumatera Selatan sudah sangat begitu berasa, aneka manufer diluncurkan kontestan baik dari brand dan statement politik, Visi dan Misi hingga isue-isue seksi yang dirangsang dari para pialang politik membuat peta perpolitikan Sumsel semakin bergairah. Hal demikian demi merebut kemenangan, tebaran spanduk dan baliho di sepanjang jalan, pusat pertokoan, pemukiman padat penduduk, hingga sampai ke pelosok desa, segala sesuatu untuk dapat meningkatkan elaktabilitas suara dilakukan dan pilihan beresiko setinggi apapun harus diputuskan kandidat karena mengingat rival politik bukanlah lawan ringan dapat dikalahkan dengan satu pukulan (knock out). Kekuatan mesin partai dan ongkos politik tidak terlalu jadi jaminan, pilihan strategi yang tepat dan mateng adalah kunci kemenangan.

Berbeda dengan pilgub sebelum nya, bursa kandidat 2013 mulai diramaikan oleh kalangan baik dari pengusaha, anggota legeslatif, hingga bupati dan walikota. Ngak tanggung-tanggung, tercatat empat kepala daerah, 1). Walikota Palembang, Edy Santana Putera, Ketua DPD PDI Perjuangan Sumatera Selatan, 2). Bupati Ogan Komering Ilir (OKI), Ir.H.Ishak Mekki, yang juga Ketua Partai Demokrat Sumsel, 3). Herman Deru, Bupati OKU Timur, dan 4). Ridwan Mukti, Bupati Musi Rawas, secara terang benderang telah mendeklarasikan diri mereka siap menjadi orang “nomor 1” di Sumatera Selatan.

Banyaknya bermunculan kandidat diatas, dapat diprediksi, Pertama, para Bupati dan Walikota diatas pada tahun 2013 mendatang akan habis masa jabatannya dan sudah tidak bisa memperpanjang jabatan lagi karena sudah dua periode menjabat. Satu-satunya peluang dalam rangka mempertahankan kekuasaan politik adalah turut serta dalam pertarungan SUMSEL 1. Kedua, bermula dari kekalahan “putra mahkota” Dodi Reza Alex merebut kekuasaan di Kabupaten Muba, hingga memanas ketika Alex Noerdin masuk dalam bursa kandidat pilgub DKI dengan hasil gagal telak dalam putaran ke-I. Tidak selesai disitu saja, pecah kongsi terjadi diinternal incumbent, indikasi dipicu dari proporsi kerja yang tidak berimbang sehingga dangan tegas wakil gubernur (Eddy Yusuf) memilih berpisah dan maju secagai bakal calon gubernur Sumatera Selatan 2013-1018.

MENAKAR KEKUATAN INCUMBENT
Dalam buku The Survival Politics, dijelaskan bahwa calon incumbent dalam setiap pemilihan di Negara-negara Amerika Selatan dapat dipastikan mampu memenangkan pemilu. Faktor-faktor yang menjadi kunci kemenangan calon-calon tersebut, dalam The Survival Politics, ada 3 faktor yaitu konsistensi dalam menjaga winning coalition, mampu menjaga kesetiaan pemilihnya serta yang terakhir memiliki komunikasi politik yang jitu. Dari kerangka logika diatas, dirasa sangat kompatibel dan relevan diterapkan untuk menakar peta perpolitikan Sumatera Selatan khususnya calon incumbent.

Pertama, konsistensi dalam menjaga winning coalition. Dari penjelasan sebelumnya, terjadi pecah kongsi antara pasangan incumbent, gubernur dan wakil gubernur. Ketidakmampuan Alex Noerdin dalam mencumbu-mesrakan pasangannya tersebut tidak bisa dianggap sepeleh, kefatalan dari ketidakmampuan menjaga “koalisi” adalah kehancuran. Hal senada nyaris sama dilakukan Syarial Oesma (Rival Alex Noerdin pada Pilgub 2008) terhadap wakilnya, Prof. Mahyudin yang berbuntut kekalahan padal pilgub 2008.

Kedua, Menjaga kesetiaan pemilihnya. Menilik kebelakang, konstituen terbesar menyumbang kemenagan Alex Noerdi – Eddy Yusuf atas Syarial Oesman – Helmi Yahya (2008) adalah di dominasi masyarakat Musi Banyuasin (sebagai contoh), daerah Muba merupakan lumbung suara bagi pasangan Alex Noerdi – Eddy Yusuf, nyaris 99% suara Muba diperuntukan untuk kemenangan Alex Noerdin karena memang Alex Noerdin merupakan Bupati yang dicintai disana dan program-programnya dirasa sukses disetiap level kalangan masyarakat. Tetapi, ketidakmampuan merawat suara dan kesetian masyarakat dibuat mengambang. Alhasil, ketika “putra mahkota” (Dodi Alex Noerdin) kembali masuk ke Muba dan menuntut suara lebih untuk memperoleh kemenangannya di Muba 1, maka masyarakat hanya men-cibir. Dan dengan mudah diproyeksikan potret Muba sebagai lumbung suara pada Pilgub 2008 akan sangat berbeda dan bahkan berbanding terbalik pada Pilgub 2013.
Ketiga, Komunikasi politik yang jitu, tidak dapat disangsikan bahwa sebagai seorang gubernur, Alex Noerdin dipastikan sangat piawai dalam berkomunikasi politik.

Tetapi, tekait dengan program yang dijanjikan pada kampanyenya pada Pilgub 2008, “Pendidikan Gratis dan Berobat Gratis” adalah isapan jempol belaka bagi mayorita warga Sumatera Selatan. Indikasi ketidakpuasan bisa terlihat dari beberapa data seperti data pendidikan, diprediksi terdapat 1,33 juta anak wajib belajar di Sumatera Selatan. Sebanyak 1,24 juta anak saat ini tercatat telah dan masih bersekolah sementara 89.000 anak lainnya belum pernah dan terpaksa putus sekolah. Tidak berbeda jauh dengan data yang rilis Dinas Pendidikan (Disdik) Sumatera Selatan (2010) menyebutkan, angka anak putus sekolah mencapai 7.930 anak. Angka tersebut belum termasuk data empat kabupaten/kota di Sumsel yang belum melaporkan jumlah anak putus sekolah. (Mengingat besaran data anak yang putus sekolah, meski data diatas diambil tahun 2010 tidak akan berubah drastis hingga tahun 2013).

Disamping itu, kontradiksi berobat gratis juga banyak dirasakan masyarakat kecil, alih-alih masalah minimnya anggaran rumah sakit umum di daerah-daerah ajek menelantarkan fasien dan tidak sedikit orang sakit yang berobat diusir dari rumah sakit. Mengingat dua program ini merupakan program inti Alex Noerdin yang merupakan janji kampanyenya, sudah sekiranya persoalan-persoalan tersebut dijawab dengan management komunikasi politik yang jitu dengan berikut solusi-solusinya.

INCUMBENT DIAMBANG KEKALAHAN
Oswald Spengler (1880-1936), Dalam karya fenomenalnya berfikir dan bertindak laksana seorang ahli nujum dalam meramalkan keruntuhan eropa, ”Der Untergang des Abendlandes”. Menerangkan, Seperti dalam historis-materialisme dimana sejarah bergerak secara dialektis berdasarkan hukum sejarahnya, tumbuh kemudian berkembang lalu mati. Pungkasnya Mempelajari sejarah bertujuan untuk mengetahui (diagnose) seperti seorang dokter menentukan sifat seorang penderita. Sesudah diagnose ditentukan nasib penderita itu, kemudian dapat diramalkan sehingga untuk seterusnya penderita tadi dapat ditentukan gejala kedepan yang bakal terjadi.

Pada politik Sumatera Selatan, sejarah dan fakta preodisasi Gubernur pasca reformasi ajek bertahan hanya satu priode dan hal ini senada dengan teori O. Spengler ”tumbuh kemudian berkembang lalu mati”. Dimulai dari peta perpolitikan pasca reformasi, H. Rosihan Arsyad (1998) yang mengantikan posisi Letjen H.Ramli Hasan Basri sebagai orang “nomor 1” di Sumatera Selatan dan saat pemilihan gubernur berikutnya tahun 2003, melalui sistem pemilihan DPRD Prov. Sumsel, Rosihan Arsyad meski mengakhir jabatan politiknya karena total suara voting anggota legeslatif lebih mengungguli rival-nya, Ir. Syahrial Oesman, MM.

Tampuk kekuasaan provinsi beralih tangan, pasca mekanisme voting, Syahrial Oesman pun ditetapkan dan dilantik sebagai Gubernur Sumsel 2003-2008. Singkatnya, memasuki tahun 2008 pesta politik Sumsel kembali dirayakan, berbeda dengan pemilihan sebelumnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pertarungan politikpun berjalan sengit dan pada akhirnya Ir. Syahrial Oesman harus mengakui kehebatan Alex Noerdin yang berhasil menang dalam kontestasi pilkada tersebut.

Peta politik 2013 dirasakan oleh kalangan pengamat dan masyarakat Sumsel, memiliki kemiripin dalam konteks situasi dan kondisi politk sebagaimana pada tahun 2008. Dimana Ir. Syahrial Oesman, MM yang kokok dan berdiri tegap dengan program lumbung pangan dan energi dan sukses menjadi tuan rumah Pekan Olah Raga Nasional (PON) XVI-2004. Namun tetap bertekuklutut dengan seorang Bupati Musi Banyuasin, Alex Noerdin. Begitu juga dengan H. Rosihan Arsyad.

Disamping itu, data nasional (2012) telah membuktikan seperti Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Irwandi Yusuf) dan DKI Jakarta (Fauzi Bowo) dimana pasangan incumbent bertumbangan dan harus mengahiri masa kejayaannya.

Dalam kontek Incumbent Sumsel, melalui pendekatn The Survival Politics (konsistensi dalam menjaga winning coalition, menjaga kesetiaan pemilih, dan komunikasi politik) dan teori Oswald Spengler (tumbuh kemudian berkembang lalu mati). Disamping itu, tingkat kepuasan kinerja Gubernur yang semakin menurun dan ditambah dengan bermunculannya wajah-wajah fresh pada kontestasi Pilgub 2013 mendatang. Maka predictble, Alex Noerdin Diambang Kekalahan. ***Nopember 2012 (Penulis Merupakan aktivis PB Frabam Sumsel dan Mantan Aktivis LMND)

Comment