Otonomi Partai Politik dan Kaitannya Pada Pilgub Sumsel

Uncategorized446 Views

Oleh : Prasetio

Kabarkite.comOpini, Dalam politik Indonesia kontemporer, partai politik merupakan sebuah keniscayaan. Partai politik mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Partai politik memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses pemerintahan dengan warga negaranya. Bahkan secara tidak langsung partai politik jualah yang sebetulnya menentukan arah negara yang sedang atau mau dituju.

Partai politik merupakan fenomena modern yang muncul berbarengan dengan dengan perkembangan demokrasi, perannya yang tidak halya sebagai saluran aspirasi politik berbagai kelompok masyarakat dan sebagai wahana untuk mengartikulasi tuntutan politik dalam sistem politik secara keseluruhan, tetapi juga berfungsi sabagai satu-satunya jenis organisasi yang berkompetisi untuk membentuk formasi atau struktur di pemerintahan.

Posisi dan peran inilah menjadikan partai politik sebagai poros kekuatan yang super power sehingga meng-up date statusnya menjadi salah satu pilar demokrasi di Indoensia, dan wajar saja fenomena kemunculan partai-partai politik mutahir seperti jamur di musim hujan.

 

MEMBONSAI DEMOKRASI

Tidak bisa dipungkiri, fenomena partai-partai politik mutahir merupakan anugerah dari buah reformasi, tetapi anugerah ini seakan jatuh di tanah yang tandus, tumbuhlah oleh karena embun itu kedurjanaan, kedustaan, penipuan, langkah serong dan lain-lain perkara yang tercela.

Sepintas demokrasi Indonesia modern tampil secara apik dan menarik, dimana Pemilu-nya secara langsung dipilih oleh rakyat dan penyelenggaraannya berlangsung secara “damai”. Namun, dibalik semua keindahan itu adalah kate, kerdil dan karena memang hakikat dari demokrasi tersebut sengaja dibuat bonsai. Demokrasi dapat dikatan gagal di Indonesia, karena dibajak & dimanipulasi secara sistematis oleh golongan elite yang sembunyi dibalik pintu partai politik. Demokrasi yang katanya adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, akan tetapi  banyak dari Undang-undang, sistem, proses dan mekanisme yang dirancang dan dibuat di Indonesia dalam menerapkan sistem pemerintahan demokrasi justru memasung kedaulatan rakyat itu sendiri.

Undang-undang Partai Politik dan Undang-undang Pemilihan Umum masih jauh dari harapan masyarakat. Walaupun sudah berapa kali direvisi, semisal Undang-undang yang teranyar adalah Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum yang sekaligus merupakan landasan pelaksanaan pada pemilu 2014 mendatang dan keberadaannya telah menelurkan 10 partai politik yang lolos tahap verifikasi atau 10 partai yang menjadi peserta pemilu 2014.

Banyak kalangan mensangsikan keberadaan Undang-undang diatas, karena subtansinya bukan halnya menciderai rasa keadilan masyarakat bahkan mengamputasi kepentingan demokrasi itu sendiri. paradoks demikian didapati seperti dalam syarat partai politik yang harus memiliki kepengurusan di setiap provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan atau partai politik bersifat nasional yang berkedudukan di Ibu Kota (kecuali Nanggroe Aceh Darussalam yang diberikan otonomi khusus). Sehingga pada aras point ini saja sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan prinsip otonomi yang dijamin oleh konstitusi.

Keistimewaan Aceh yang diberikan otonomi membentuk partai lokal, sebetulnya sudah jauh mengangkangi undang-undang, Dimana dalam UUD  semua sama dimata hukum tak ada beda anatara orang-orang Aceh, Palembang, Jambi atau Jakarta. Lalu kenapa Palembang tak diperbolehkan membuat partai lokal yang sama seperi Aceh untuk ikut pada pemilu, kalimatan dan daerah-daerah lainnya.

Namun memang mungkin karena parpol lokal memiliki sedikit kemurnian god will politiknya, ketimbang partai nasional yang mengunakan tongkat pimpinan pusatnya untuk mengatur semua bisnis, kepentingan pengurus pusat hingga mengatur UU untuk diseleraskan dengan keamanan bisnis, usaha dan keberlangsungan dinasti politiknya.

Sebagai contoh, leluasanya PRA (Partai Rakyat Aceh) dan partai lokal aceh menentukan sosok bakal calon pemimpin didaerahnya, hal itu membuat kesimbangan politik terjadi dan penilaian atas sosok bakal calon lebih sedikit objektif ketimbang kebijakan parpol nasional yang cenderung untuk mengamankan asset mereka didaerah dengan memaksakan kehendak bakal calon sesuai selera Pusat.

Secara kasat mata mungkin bisa dilihat dari parpol kecil yang dieleminasi KPU, bisnis Penetapan calon pada Pilkada tingkat I dan II, jualan dukungan dan pengusungan menjadi sebuah bisnis yang menjanjikan untuk keuntungan para pemangku jabatan politik nasional. Hampir semua partai tingkat I dan II sering bertolak belakang dengan keinginan pusat dalam penetapan bakal calon.

Semestinya jika otonomi daerah benar-benar dilakukan secara konsisten, hal seperti itu tidak terjadi, biarkan parpol ditingkatan kebupaten/kota dan provinsi memilik bakal calon sesuai dengan keinginan mereka tanpa intervensi DPP/Pusat. Namun hal itu hanya mimpi, karena Pusat berkepentingan mengamankan jalur bisnis mereka dengan tabir menjaga kesolidan, kewibawaan dan hal preprogatif ketua Umumnya.

Tidak ada lembaga yang independent dinegara ini, semuanya masuk campur tangan parpol baik itu lembaga ad hoc semacam KPK (Komisi Pemberantas Korupsi), MA (Mahkamah agung), MK (Mahkamah Konstitusi), Komnas HAM hingga KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang menjadi hakim meloloskan verifikasi parpol.

 

OTONOMI POLITIK

Sejalan dengan otonomi daerah, dimana eksistensi daerah dalam kerangka NKRI bukan hanya pembagian wilayah secara administratif, melainkan diberikan hak mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya berdasarkan asas otonomi tersebut. Dalam Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 10 ayat (1), (2) dan (3) menjelaskan secara gamblang urusan pemerintahan pusat dan daerah meliputi bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama.

Undang-undang otonomi diatas, secara ekplisit dapat dimaknai terdapat perimbangan kewenangan dalam pengembanan tanggungjawab antara pusat dan daerah baik dalam pengurusan bidang sosial, hukum, ekonomi, agama hingga politik. Berbeda dengan empat bidang awal disebutkan yang total sudah diurus oleh wilayah masing-masing bedasarkan asas otonomi, bidang politik bak tungku jauh dari panggang api, jauh dari asas otonomi. Padahal maksud ayat (5) dan (6) dari pasal 10 diatas atau dalam pasal 1 ayat (5) Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 secara eksplisit mengambarkan bahwa “daerah mengurusi sendiri daerahnya”, artinya otonomi politik yang dijamin konstitusi mestinya menjadi urusan daerah yang harus diotonomkan.

Otonomi politik dimaksud dimulai dengan mengotonomikan partai politik yang diharapkan mampu dijadikan pintu solusi ketika negara dirasakan belum atau tidak memberikan rasa keadilan secara merata, mengingat luasnya batas wilayah NKRI sehingga dapat dipastikan jangkauan kebijakan pembangunan belum berhasil menyentuh semua wilayah.

 

AMPUTASI KEPENTINGAN LOKAL

15 tahun reformasi begulir dan 8 tahun Undang-undang otonomi diterbitkan belum ada upaya serius dan iktikad baik partai-partai nasional yang duduk di pemerintahan untuk dapat menjalankan amanah otonomi secara totalitas.

Ironis, di tengah suara demokrasi-kebebasan yang diperdendangkan hingga membahana di tiap chanel televisi atau media lainnya, tetapi di lain pihak otonomi partai politik sengaja dibungkam dan issuenya dibuat redup. Sulit memang mencari akar permasalahan kemudian dicari solusi pemecahannya, sebab otonomi partai politik ini dirasa ada sutradara hebat yang sengaja mencegal terbentuknya otonomi sejati.

Ekses tidak terselenggaranya otonomi daerah secara total khusus pada tingkat wilayah politik, yaitu pertama, akibat dari otonomi setengah hati yang hanya sebatas melangsungkan pemilihan umum secara langsung baik pemilihan anggota legeslatif, dewan perwakilan daerah, dan kepala daerah di satu sisi. Namun disisi lain sifat otoratif dan oligarki partai politik nasional yang menuntut orang-orang yang berkeinginan dipilih pada pemilihan umum tingkat daerah harus mengeluarkan cost agar dapat menempati kedudukan yang diinginkan. Tidak berhenti disana, orang-orang yang sudah terpilih makin dituntut mengeluarkan anggaran khusus (upeti), dengan dalih untuk kebutuhan perjuangan dan kelangsungan partai politik tersebut. Secara sistematis, mengingat besaran anggaran yang harus digelontorkan membentuk semacam “budaya” dan dengan sendirinya menciptakan “politik dinasti”, karena memang hanya keluarga orang kaya raya di daerah yang mampu mengikuti alur-pola-politik semacam itu.

Kedua, Konstelasi 2013, dimana beberapa provinsi di tanah air menegang karena banyak calon kandidat terancam ditendang dari catur pertarungan politik daerah (Pilkada) karena tidak mempunyai pegangan kuat di tingkat DPP partai politik, karena dalam praktek pemilihan kepala daerah DPP kerap melakukan intervensi. Dalam kasus pemilihan umum kepala daerah provinsi Sumatera Selatan 2013, dimana kandidat yang siap berkompetisi adalah orang-orang terbaik di kabupaten/kota. Pasalnya mereka adalah kepala-kepala daerah yang sudah dua periode menjabat sebagai bupati/walikota. Secara kredibilitas, kapabilitas, dan integritas mereka adalah orang-orang yang layak memimpin Sumsel 1.

Namun di awal proses Pilkada berlangsung, keberuntungan kurang mendekati beberapa kandidat. Seperti Ridwan Mukti (bupati Musi Rawas) terganjal  pencalonan karena partai politik, Golkar yang diharapkan akan dikendarainya pada pelaksanaan Pilkada 2013, beralih mendukung ketua DPD Provinsi sekaligus calon incumbent, Alex Noerdin yang senyatanya lebih dekat dengan ketua umum DPP Partai Golkar.

Nama lain adalah Eddy Yusuf (wakil Gubernur Sumsel) dan Herman Deru (Bupati OKU Timur), tarik ulur pendukungan partai-partai politik terhadap masing-masing kedua calon kandidat tersebut bakal the end sebelum bertarung, hal tersebut akibat minimnya dukungan dari partai politik terhadap masing-masing keduanya yang bedasarkan amanat Undang-undang nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada harus didukung partai politik atau gabungan partai politik sekurang-kurangnya 15 persen suara pada Pemilu atau meraih 15 persen kursi di DPRD.

Jika dibiarkan, dua dampak dari tidak diterapkannya otonomi dibidang politik di atas, lambat laun dapat mengamputasi kepentingan politik lokal. Walaupun wilayah dengan kapasitas anggaran telah diotonomikan tetap tidak akan mampu mendistribusikan pembangunan dan kesejahteraan di daerah. Dengan kewenangan politik yang ada,  kekayaan daerah akan tetap tidak dirasa oleh masyarakat daerah, karena kekayaan daerah akan dikorupsi oleh kepala daerah untuk membayar upeti atau dibawa ke pusat kemudian dilelang di luar negeri.

 

LEGALISASI PARTAI LOKAL

Paradoks antara Undang-undang Partai Politik dan Undang-undang Pemilu dengan amanah konstitusi dapat diselesaikan dengan memenuhi amanah Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 terkait dengan otonomi partai politik dengan melegalkan partai politik lokal. Pembentukan partai politik lokal merupakan antitesa dari sistem kepartaian yang bersifat nasional yang lamban menjangkau persoalan daerah apalagi menjangkau hingga sampai ke pelosok desa.

Dengan status partai lokal, sistem yang dibangun lebih mengakar bedasarkan kepentingannya di tingkat lokal. Selanjutnya apa yang diharapkan oleh daerah akan dikerjakan oleh daerah dan hasilnya semata-mata untuk kesejahteraan daerah.

Tidak ada jalan lain, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum harus di Uji Materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Otonomi daerah harus dilaksanakan secara total, termasuk melegalkan partai lokal. Pada gilirannya, kandidat yang ingin berkompetisi pada pemilihan umum tidak perlu takut akan di intervensi oleh DPP dan orang-orang yang telah terpilih dalam pemilihan umum juga tidak perlu membayar upeti, sehingga yang terjadi adalah fokus kerja untuk membangun daerah.

Harapan semua masyarakat di seluruh daerah di Indonesia adalah mendapat keadilan yang merata. Keadilan tersebut menuntun daya kreasi dan kompetisi masyarakat untuk menuju Indonesia yang berdaulat. Kedaulatan NKRI hanya dapat diwujudkan melalui kesejahteraan yang merata hingga di pelosok desa, keterwujudan pembangunan yang merata di semuah daerah dengan sendirinya memperkokoh kedaulatan Indonesia itu sendiri.

Bisa dibayangkan bilamana partai nasional berani mengotonomikan partai politik. Presiden, Wakil Presiden dan semua Menteri tidak perlu gusar jika Jakarta terkena banjir, karena semua daerah terbangun secara merata sehingga semua daerah layak menjadi ibu kota. Istana Presiden, Wakil Presiden dan Kantor semua Menteri atau gedung DPR/MPR sekalipun bisa dipindahkan ke Kota Palembang karena memang pembangunannya sejajar dengan Kota Jakarta, atau kemana saja daerah yang disepakati, asalkan masih di wilayah NKRI. Dan sekali lagi, itu semua bisa terwujud bilamana partai nasional berani mengotonomikan partai politik.***Penulis adalah Tokoh Pemuda dan Mahasiswa Sumateraselatan pernah aktiv di Liga Mahasiswa Nasional untk Demokrasi (LMND) dan Front Anak Bangsa Menguggat (FRABAM)

Comment