Cinta Yang Dibutuhkan

Uncategorized371 Views

cintaOleh : Mariska Lubis

Kabarkite.comEssai, MALAM telah tiba, sepasang perempuan dan pria sudah menghabiskan hari berdua bersama di atas peraduan. Mengatasnamakan cinta dan kerinduan yang sesungguhnya sudah menjadi kebiasaan semata. Kemanjaan diri terhadap hasrat, keinginan, dan nafsu.

Perempuan itu berlabuh di dada dan menatap wajah pria yang sedang memeluk dan mengelus lembut tubuhnya. Senyum terurai menunjukkan kebahagiaan, namun kekosongan pada binar mata tak dapat dipungkiri. Hatinya teriris menyaksikan apa yang dilihatnya dari bola mata pria itu.

“Saya selalu berkhayal untuk dapat bercinta penuh dengan cinta sambil diiringi sebuah lagu khusus yang teramat saya sukai.”
“Oh ya?! Lagu apa?!”
“Sebuah lagu yang bagi saya merupakan sebuah ekspresi dari peluruhan jiwa dan raga yang menyatu.”
“Seksi banget pastinya, ya?”
“Romantis tepatnya. Kebayang, kan, bagaimana indahnya bercinta dengan penuh cinta?! Menyatukan seluruh yang dimiliki dan kerinduan untuk menyatukan cinta yang ada, hingga menjadi sebuah keindahan yang utuh dan senantiasa abadi.”
“Bukankah itu yang selalu kita lakukan selama ini?!”
“Hmmm…”

Raut wajah pria itu mulai berubah dan menjadi bertanya-tanya. Sementara perempuan itu terus tersenyum menghilangkan segala rasa yang berkecamuk di dalam hatinya.

“Sepertinya, lagu itu akan saya simpan selamanya. Tidak akan pernah terjadi hingga semuanya itu tepat dan sempurna.”
“Maksudnya?!”
“Saya ingin semua itu terjadi namun untuk saat ini, sepertinya tidak mungkin. Tempatnya, waktunya, suasananya….”
“Orangnya?!”

Mata perempuan itu mencari-cari kejujuran di bola mata pria itu. Sementara pria itu terus menghindar dan mengalihkan pandangan.

“Saya butuh dan ingin dicintai. Sementara dirimu, tidak memiliki cinta untuk saya. Dirimu juga tidak membutuhkan saya. Yang dirimu butuhkan adalah mencintai seorang perempuan dengan sungguh-sungguh. Di sinilah semuanya menjadi jelas bahwa selama ini kita tidak pernah bisa bercinta dengan penuh cinta. Saya tidak mendapatkan cinta yang saya butuhkan dan inginkan. Dirimu pun tidak mencintai perempuan seperti yang dirimu butuhkan.”

Keduanya pun terdiam. Masih dengan senyum di wajahnya, perempuan itu pun meninggalkan peraduan. Sambil berdiri, dia berkata, “Kamu tahu kenapa saya mengatakan semua ini?! Karena saya sangat mencintaimu. Saya ingin dirimu bahagia. Dirimu berhak untuk mendapatkannya. Pergilah ikuti hatimu untuk menemukan yang benar dirimu cintai. Hanya dengan dialah dirimu bisa memiliki kehidupan dan gairah untuk menikmati keindahannya. Kebutuhanmu pun akan terpenuhi dengan mencintai sungguh-sungguh sehingga kamu tidak akan lagi pernah mencari dan kekurangan.”

Tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi kemudian. Perpisahan selalu membuat sesak dada. Awal yang indah berakhir dengan duka. Siapa sanggup untuk membayangkannya?!

Cinta itu datang tiba-tiba dan menggebu-gebu, menggiring mimpi dan harapan. Namun ketika mimpi dan harapan itu hilang, hilang pulalah semua gairah yang tadinya begitu kuat. Apa yang dikira cinta dan diyakini sebagai cinta, ternyata bukanlah cinta. Tentunya semua berjalan seiring perjalanan waktu dan setelah melewati banyak peristiwa. Sementara hati sulit untuk membuat sedih dan kecewa. Kejujuran itu pun dilawan dengan memilih diam dan membiarkan semuanya mengalir hingga masa dan waktunya tiba. Kebiasaan yang menjadi kemanjaan diri itu pun dibiarkan berlanjut untuk memenuhi hasrat, keinginan, dan nafsu.

Seringkali kita takut menghadapi kejujuran. Rasionalisasi pembenaran dengan segala alasannya, baik itu berupa kesabaran, ketulusan, dan kepasrahan, semakin membuat diri tidak bernyali untuk menghadapi diri sendiri. Sadar penuh bahwa kejujuran dan keterbukaan itu penting, tetapi semua dibiarkan tertutup menanti waktu. Kemerdekaan yang diraih dari kejujuran itu akhirnya dihindarkan, lebih memilih untuk terjajah dalam dusta dan kemunafikan. Resikonya?! Bagaimana nanti saja, biarkan waktu yang bicara. Begitukah?!

Yang lebih sulit lagi adalah untuk keluar dari kotak yang sudah membuat nyaman itu. Bukan untuk pindah ke kotak yang lain, untuk keluar saja pun sulit. Apalagi bila untuk menghilangkan kotak-kotak yang ada dan sudah terbentuk. Padahal, kebahagiaan yang senantiasa luas itu justru ada ketika kotak itu tidak ada lagi. Yah, kata itu bisa bicara tetapi selalu ada yang tidak bisa didustai.

Mencintai seseorang dan dicintai seseorang sesungguhnya merupakan cerminan dari diri sendiri. Keduanya merupakan kebutuhan untuk dapat lebih mencintai diri sendiri dan memenuhi diri dengan cinta. Walaupun cinta itu memiliki beragam bentuk, baik untuk sesama, seluruh makhluk hidup, bangsa, negara dan lain sebagainya, namun kebahagiaan itu baru akan diraih bila diri sudah dipenuhi oleh cinta. Memberikan cinta akan berbuah diri yang penuh dengan cinta. Dicintai akan berbuah gairah untuk memberikan lebih banyak cinta. Lantas, mana yang harus lebih didahulukan?!

Kita terlahir dari cinta yang diberikan oleh-Nya sehingga seharusnya kita mampu untuk memberikan cinta dengan sungguh-sungguh karena Dia pun tidak setengah-setengah. Ketika kemudian cinta yang diberikan itu dirasa semakin lama semakin hilang dan sirna maka kebutuhan untuk dicintai akan kian terasa. Meskipun sesungguhnya cinta itu selalu ada, kita tetap akan kembali meminta untuk dicintai oleh-Nya. Dia pun senang bila kita selalu dekat dan mencintai-Nya. Dia juga tidak ingin ada yang lain selain Dia sebagai satu-satunya. Mencintai dan dicintai menjadi sebuah siklus berputar yang menjadi indah bila tak pernah berhenti, seperti lingakaran yang tak berujung dan berawal.

Indahnya bila perpisahan itu tidak perlu terjadi. Cinta itu benar-benar sebuah cinta dengan segala mimpi dan harapan yang ingin diraih bersama. Sayangnya, jika hanya salah satu saja yang memiliki cinta, maka semua itu tidak akan pernah tercapai. Berpasangan berarti berdua dan selalu bersama. Seperti sepasang sayap kupu-kupu yang tidak mungkin dapat menebarkan keindahan pada dunia bila hanya ada satu sayap saja yang mengembangkan sayapnya. Apalagi bila keduanya sama-sama tidak mau terbang?!

Seperti kalimat “Cinta dapat mengalahkan dunia”, maka bila tak ada cinta, jangankan untuk mengalahkan dunia, untuk memiliki keberanian menghadapinya pun tidak akan ada. Bahkan keberanian untuk melawan dan mengalahkan diri sendiri.

Salam hangat penuh cinta. ***Tulisan ini di ambil dari Kumpulan tulisan Essai Mariska Lubis Posted on January 13, 2013 by bilikml

Comment